Sunday, September 10, 2006
Potongan Luka dari Gempa Jogja
Laki-laki itu ingin menjerit. Menumpahkan segala penat yang mengisi hari-harinya, meluapkan segala ketakutan yang ia pun tak tahu bagaimana menepiskannya.
Hatinya berbisik lirih, menyiratkan guratan lara yang meremukkan hatinya, “Apakah kamu akan membenci Bapakmu ini, saat suatu hari nanti kamu menemukan bahwa tangan Bapakmu inilah yang mengantarkanmu pada suratan takdir yang tak mampu Bapak kendalikan? Apakah kau akan menghujat Bapakmu, yang akhirnya harus menyerah pada kenyataan, yang mengharuskan Bapak hanya punya dua tangan, yang tak mungkin cukup untuk merengkuhmu dan abangmu, sekaligus menyelamatkan ibumu?”
Lagi-lagi lelaki itu tergugu. Kosong matanya menatap reruntuhan rumahnya, rumah yang selama ini menaungi harapannya bersama anak-istrinya, kini hanyalah tumpukan bata yang menimbun segala mimpinya. Perlahan ia duduk, di antara puing-puing penyangga rumahnya.
“Maafkan Bapak, Nak… Bapak bahkan tak punya jawaban, jika suatu saat nanti kau bertanya, mengapa harus dirimu, mengapa bukan Abangmu? Bapak tak bisa menjawab, Nak. Raungan Abangmu, rintihan ibumu, tak mungkin menjadi jawaban yang memuaskanmu. Karena Bapak tahu, Bapak pun mendengar, tangismu juga harus Bapak redakan.”
Perlahan, tetesan air mata jatuh membasahi wajah lelah itu. Hiruk pikuk teriakan orang-orang, raungan ketakutan si sulung, jerit tangis si bungsu, rintihan permintaan tolong sang istri, saat ini kembali kuat bergaung di telinganya. Menghentak hatinya, menimbun kekosongan rongga dadanya dengan berjuta sesal.
“Bapak benar-benar minta maaf, Nak… karena Bapak tak mampu menyalahkan raungan Abangmu yang memenuhi rongga dada Bapak, Bapak juga tak mampu menyalahkan Ibumu, yang tak pernah mampu terbang, sehingga tumpukan beton itu harus menghadangnya. Bapak tak mampu, Nak. Bapak bahkan tak mampu mempertimbangkan umurmu. Angka-angka itu sungguh tak berarti buat Bapak, kamu yang 3 bulan maupun Abangmu yang 3 tahun, kalian berdua mengisi jiwa Bapak sama penuhnya. Bahkan ibumu yang berpuluh kali lipat dibanding kalian berdua, tak membuatnya menjadi kurang penting di mata Bapak. Kalian bertiga adalah jiwa Bapak…”
Lelaki itu terisak. Hidupnya tak mungkin utuh lagi. Tak pernah sama lagi. Kepada siapa ia harus mengajukan tanya?
“Entahlah bagaimana Bapak dapat menjelaskan padamu.. bahwa desakan rasa panik, desakan ketakutan yang begitu besar, telah mendorong Bapak untuk menitipkan sepotong jiwa Bapak, kamu, pada orang lain. Betul bapak tak bisa memilih Nak, saat Bapak terdorong untuk menyelamatkan ibumu, sambil mendekap abangmu yang tercekam ketakutan yang begitu besar.”
“Bapak terlebih tak akan pernah mampu menjawab, mengapa Bapak kemudian tak bisa menemukanmu kembali? Mengapa Bapak tak mampu mengingat dia yang mengulurkan tangan untuk menenangkanmu?”
Berjuta penyesalan dan kepedihan bergolak di hatinya. “Lihat rumah kita, Nak.. kini tak bisa lagi disebut rumah. Abangmu masih saja dicekam ketakutan yang sangat.. Ibumu, harus merelakan sepotong tangannya terkubur bersama rumah kita. Tapi, beban yang terus menggayuti Bapak cuma satu, kamu. Kehilanganmu adalah luka yang akan terus berdarah sepanjang hidup Bapak…”
Lelaki itu menatap kejauhan… kosong. Di mana anakku? Siapakah dia yang membawa anakku? Malaikat atau iblis kah? Ke mana harus kucari anakku?
Tertatih, ia beranjak dari reruntuhan rumahnya, kembali ke tenda darurat yang sementara ini memayungi keluarganya. Perih hatinya, tak pernah sebanding dengan luka menganga di hati istrinya. Tiap tetesan air susu perempuan itu, akan selalu mengingatkannya, bahwa anaknya mungkin sedang kelaparan di luar sana.
Segurat ketakutan akan nasib sang anak, nampaknya akan terus menggayuti hidup laki-laki itu. Sepotong luka yang tersisa dari gempa Jogja Mei 2006.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment