Wednesday, June 14, 2006

Jogja ku terguncang

Jogja.. is a home. Meski bertahun aku melanglang buana ke kota lain, tapi Jogja selalu jadi rumahku.
27 Mei 2006.
Kebetulan cuti di Jogja, melibas hari kejepit... mencari suntikan kasih dari orang tuaku, mendonorkan support untuk adikku yang sedang berjuang.
Pagi itu, suamiku baru saja sampai dari Jakarta, setelah semalaman di kereta (aku berangkat duluan hari Kamis). Kami sedang riang tertawa-tawa, Bapak bahkan sudah masuk ke kamar lagi meneruskan tidur.. ketika tiba-tiba bumi bergoyang.

Sedetik tertegun, kami kemudian menyadari... GEMPA BUMI!! Seketika kami berlarian keluar rumah. Sampai di pintu, aku, Ibu, dan Suamiku terhenti... Bapak masih di kamar! Segera suamiku meminta kami semua keluar, dan dia masuk lagi untuk membawa Bapak keluar rumah. Adikku pucat pasi. Sedetik saja ia berlari terlalu cepat, hujan genteng niscaya akan menimpa kepalanya.
Sementara Ibu, harus tersungkur, karena tiba-tiba mobil bergerak sendiri dan menyundul punggung beliau. Aku, tak apa-apa, aku hanya bisa memeluk adikku yang mulai histeris karena teriakan-teriakan kepanikan dari para tetangga mulai terdengar, dan kemudian memeluk Ibu, yang alhamdulillah hanya sedikit tergores.
Setelah semua berlalu, kami melihat Bapak dan suamiku berjalan keluar rumah dengan selamat. Alhamdulillah. Rumah, meski retak di sana-sini, namun masih berdiri tegak. Sekali lagi, Alhamdulillah.

Listrik mati. Air mati. Hanya radio mobil yang bisa difungsikan. Saat itulah, kami menyadari, bahwa Bantul luluh lantak. Kasongan yang cuma beberapa menit dari rumah kami, juga rata dengan tanah.
Sesaat, setelah beberapa kali gempa susulan, setelah kepanikan mereda, aku minta ijin sama Bapak, untuk ikut membantu ke rumah sakit PKU Bantul. Apapun bentuknya. Akhirnya, bersama suami dan adikku, serta beberapa pemuda kompleks, kami bergerak menuju RS. PKU.
Subhanallah... ruma-rumah runtuh, jalan-jalan retak.... orang-orang terluka tergeletak di depan reruntuhan rumah mereka. Sampai di RS, sekali lagi kami menyimpan tangis. Ratusan orang terluka, puluhan lain tergeletak begitu saja, tak bernyawa. Lantai rumah sakit yang semula hijau, kini berubah menjadi genangan darah.
Kami sadar. Tak banyak yang bisa kami lakukan di sana. Berkoordinasi dengan relawan dan para dokter, akhirnya kami meminta para ibu di kompleks kami untuk memasak, untuk para relawan, untuk para korban. Sementara kami yang muda-muda, mulai bergerak sepanjang Jogja, mencari obat, mencari selimut. Donasi dari Jakarta segera mengalir, begitu kami meneriakkan permintaan tolong. Sayang, ATM di Jogja mati. Akhirnya, kami berjalan door to door sepanjang kompleks, untuk mohon bantuan dana, supaya kami bisa membeli obat-obatan dan selimut.

Alhamdulillah. Kimia Farma bersedia buka (meski listrik masih mati). Kami pun segera membeli obat-obatan dan mengirimkannya ke rumah sakit. Nasi bungkus dari ibu-ibu hari itu terkirim ke beberapa titik, terutama rumah sakit. Sampai malam hari, para ibu masih terus masak. Selimut pun terus berdatangan dari para tetangga. Alhamdulillah. Bantuan terus kami salurkan hingga malam hari. 23.30, kami berhenti, istirahat.

Esoknya kami kembali bekerja. Kali ini bantuan dari Jakarta sudah bisa ditarik. Tenaga dari kantor cabang di Semarang pun mulai berdatangan. Hari itu, kami bisa ke Pundong, Patalan, Karang Gayam. Menyalurkan sedikit bantuan. Sungguh, itu hanya salah satu bentuk rasa syukur kami karena kami tak kurang suatu apapun. Itu hanya uluran kasih kami, kepada saudara-saudara kami.

Hingga hari ini, luka masih menganga. Tapi kami mulai berkonsentrasi untuk membangun kembali rumah kami, menyembuhkan kembali trauma kami.
Ini sungguh merupakan suatu pelajaran yang sangat mahal...

No comments: